Senin, 07 Januari 2013
Minggu, 06 Januari 2013
Eksistensi Guru dalam peningkatan mutu pendidikan
Guru merupakan salah satu komponen
terpenting dalam dunia pendidikan. Ruh pendidikan sesungguhnya terletak
dipundak guru. Bahkan, baik buruknya atau berhasil tidaknya pendidikan
hakikatnya ada di tangan guru. Sebab, sosok guru memiliki peranan yang
strategis dalam ”mengukir” peserta didik menjadi pandai, cerdas, terampil,
bermoral dan berpengetahuan luas.
Namun kini banyak gelombang aksi
tuntutan mengenai profesionalisme guru.
Eksistensi guru menjadi bagian inheren yang tidak dapat dipisahkan dari satu
kesatuan interaksi pedagogis dalam sistem pengelolaan pengajaran pendidikan
(sekolah). Dalam pengamatan penulis, tuntutan tersebut sejalan dengan cita-cita
yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana yang termaktub
dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab
II pasal 3, yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Karena itu, sikap profesionalisme dalam
dunia pendidikan (sekolah), tidak sekadar dinilai formalitas tetapi harus
fungsional dan menjadi prinsip dasar yang melandasai aksi operasionalnya.
Tuntutan demikian ini wajar karena dalam dunia modern, khususnya dalam rangka
persaingan global, memerlukan sumber daya manusia yang bermutu dan selalu
melakukan improvisasi diri secara terus menerus. Sehingga dapat dikatakan bahwa
tenaga pendidik atau guru merupakan cetak biru (blueprint) bagi penyelenggaran pendidikan.
Seorang guru yang baik adalah mereka
yang memenuhi persyaratan kemampuan profesional baik sebagai pendidik maupun
sebagai pengajar atau pelatih. Di sinilah letak pentingnya standar mutu
profesional guru untuk menjamin proses belajar mengajar dan hasil belajar yang
bermutu.[1][5]
Seperti yang terungkap di atas, bahwa
salah satu “kejenuhan” yang di alami pendidikan Islam akhir-akhir ini adalah
kualitas guru. Sejalan dengan tuntutan dunia kerja modern, termasuk lapangan
kerja dalam bidang pelayanan jasa seperti sekolah, secara kualitatif menuntut
seseorang mengusai metode, cara dan alat kerja yang efesien, efektif, dan
canggih (modern). Metode pelayanan yang masih menggunakan cara lama harus
diubah dengan cara pelayanan baru yang memperoleh daya guna secara efektif dan
efesien sehingga tercapainya tujuan yang maksimal.
Sebagai tenaga edukatif dalam lingkup
sekolah, guru harus memiliki kompetensi-kompetensi dasar kependidikan. Sebab
dalam interaksi pembelajaran peserta didik, seorang guru harus bisa melakukan
demonstrasi yang hidup dan menyenangkan bagi peserta didik. Sehingga kompetensi
tersebut menyebabkan pembelajaran semakin bertambah baik.
Untuk menuju proses kegiatan belajar
yang baik, maka tugas pokok guru adalah mempersiapkan rancangan-rancangan
pembelajaran yang sistematis dan berkelanjutan. Membuat perangkat pembelajaran
tersebut merupakan bagian dari tugas pendidik. Di samping ia juga harus
memiliki kemampuan tertentu yang sesuai dengan nilai dan norma yang seharusnya
dimilikinya. Misalnya, berkepribadian dewasa, mandiri dan bertanggung jawab
terutama secara moral sehingga dapat dijadikan identifikasi peserta didiknya.
Itulah mengapa seorang guru harus
memiliki jiwa profesionalisme. Keberadaan guru yang sangat strategis tersebut
diharapkan melalui jiwa profesionalisme dapat mengembangkan kegiatan
pembelajaran yang berkualitas dan menjadi tonggak yang kokoh bagi lembaga
pendidikan. Oleh karena itu, kata profesionalisme perlu kita kaji secara
mendalam guna melahirkan pemahaman yang holistik dan komprehensif.
Kata dasar profesionalisme sesungguhnya
berakar dari kata profesi, yakni memerlukan kepandaian khusus untuk
menjelaskannya. Sutisno mendefisikan profesional
adalah menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya, terikat oleh
pandangan hidup (world view atau weltanschaung) tertentu yang dalam hal ini ia
memerlukan pekerjaannya sebagai seperangkat norma, kepatuhan terhadap perilaku,
dan terikat pada syarat-syarat kompetensi serta kesadaran berprestasi dan
pengabdian. Dengan demikian, istilah profesional yang
dimaksud adalah serangkaian keahlian yang dipersyaratkan untuk melakukan suatu
pekerjaan yang dilakukan secara efesien dan efektif dengan tingkat keahlian
yang tinggi dalam mencapai tujuan pekerjaan tersebut.
Maksud dari sikap profesionalisme
tersebut paling tidak mencerminkan empat ciri mendasar berikut ini, yakni pertama, tingkat pendidikan spesialisasinya
menuntut seseorang melaksanakan jabatan/pekerjaan dengan penuh kapabilitas,
kemandirian dalam mengambil keputusan (independent
judgement), mahir dan
terampil dalam mengerjakan tugasnya. Kedua, motif dan tujuan utama seseorang
memilih jabatan/pekerjaan itu adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan
imbalan kebendaan (bayaran) yang menjadi tujuan utama. Ketiga, terdapat kode etik jabatan yang
secara sukarela diterima mejadi pedoman perilaku dan tindakan kelompok
profesional yang bersangkutan. Kode etik tersebut menjadi standar perilaku
pekerjaannya. Keempat, terdapat kesetia-kawanan seprofesi, yang diwujudkan
dengan saling menjalin kerja sama dan tolong menolong antar anggota dalam suatu
komunitas tertentu.
Seseorang dikatakan profesional,
bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya,
sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous
improvement, yakni selalu
berusaha memperbaiki dan memperbarui model-model atau cara kerjanya sesuai
dengan tuntutan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas
mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zaman di
masa depan.
Sesuai dengan UU RI No. 14 tahun 2005 tentang sistem pendidikan nasional,
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari rumusan tersebut di atas bahwa
kegiatan belajar mengajar merupakan perpaduan antara bimbingan, pengajaran dan
latihan. Kegiatan bimbingan lebih ditekankan pada proses pengembangan mental
spiritual (rohaniah, moral dan sosial). Kegiatan pengajaran ditekankan pada
proses pengembangan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Guru sebagai
pendidik yang profesional, berarti harus mempunyai keahlian dalam mengelola
ketiga kegiatan tersebut.
Sebagai sebuah institusi, lembaga
sekolah dalam prosesnya harus selalu berupaya meningkatkan profesionalisme guru
dan inovasi pembelajaran. Salah satu upaya untuk meningkatan mutu pembelajaran
di sekolah adalah terbentuknya kultur dan sikap profesionalisme guru yang
dedikatif tinggi.
Sudah menjadi kewajiban bagi suatu
lembaga pendidikan (sekolah), bahwa pengembangan profesionalisme guru merupakan
tanggung jawab besar yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, menunda hal ini
berarti mengorbankan generasi masa depan yang notabenenya sebagai cagar
peradaban umat. Karenanya, proses peningkatan kualitas bagi lembaga pendidikan
seharusnya menyadari dan melakukan pembenahan sedini mungkin supaya
pengembangan kualitas kelembagaan sekolah dan lulusannya dapat memenuhi harapan
masyarakat luas. Mutu tidaknya sebuah sekolah akan dapat dilihat dari mekanisme
struktural di dalamnya, apakah ada rencana yang terstruktur, sistematis,
terprogram dan berkelanjutan.
Dari paparan tersebut, sudah sepatutnya
lembaga pendidikan/sekolah untuk lebih meningkatkan pada orientasi mutu,
termasuk salah satu di dalamnya mutu profesi guru dan sistem kegiatan belajar
mengajarnya. Orientasi pendidikan yang berjalan saat ini, bukan tidak mungkin
akan kehilangan elan vital-nya di masa depan, sebab kurang didukung oleh pengelola
pendidikan yang profesional. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa guru
merupakan faktor penting yang menetukan keberhasilan mutu pendidikan.Hasil ini menunjukkan bahwa sampai
saat ini betapa eksisnya peran guru diperlukan dalam dunia pendidikan.
Salah satu upaya untuk mengatasi
kebutuhan tersebut adalah mengubah orientasi sekolah yang masih berpola lama
dengan inovasi yang berpola baru. Artinya, kalau sekolah masih dikelola dengan
cara lama maka sudah saatnya digantikan dengan cara baru. Hal ini penting,
mengingat peran lembaga pendidikan akan selalu berdialektika dengan perubahan
yang terus berkembang.
Karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan
harus mempertegas visi dan misi yang akan dikembangkan di masa mendatang,
supaya tidak terjadi kekaburan orientasi dan kehilangan arah yang pasti. Sebab,
jika tidak dilakukan maka akan berdampak pada kualitas sekolah itu sendiri.
Salah satu ukuran kualitas lembaga pendidikan dapat dilihat dari proses
kegiatan (non fisik), selain sarana fisiknya juga mendukung. Sehingga berbagai
upaya peningkatan mutu perlu ada komitmen yang kuat dari pihak penyelenggara
sekolah
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1975:peran-guru-dalam-meningkatkan-mutu-pendidikan&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
Tinjaun tentang pendidikan karakter
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal
3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis
guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan
karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan
santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan
seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter
diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan
menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam
perilaku sehari-hari dimasyarakat.
Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan
dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru
menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada
tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.di
masyarakat. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya
membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai
secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali
Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja,
tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian
ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan
sisanya 80 persen oleh soft
skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skilldaripada hard skill. Hal ini
mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting
untuk ditingkatkan. Soft
skill ini merupakan bagaian karakter yang harus dibentuk
melalui pendidikan mulai tingkat SD sampai dengan perguruan tinggi.
Kementerian Pendidikan Nasional telah mengembangkan grand design pendidikan
karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design ini
menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan
penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Berdasarkan Grand design pendidkan
karakter nasional menyebutkan bahwa Konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam:
Olah Hati (Spiritual
and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah
Raga dan Kinestetik (Physical
and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).
Berdasarkan hal di atas maka dapat dilihat bahwa salah satu
karakter yang harus terbentuk dalam perilaku peserta didik adalah
peningkatan keimanan dan ketakwaan pada Tuhan yang maha Esa. Iman dan takwa
pada Tuhan sebetulnya merupakan landasan yang kuat untuk terbentuknya karakter
yang lainnya yang meliputi karakter terhadap diri sendiri, sesama, lingkungan,
dan kebangsaan yang terbentuk melalui olah pikir, olah hati, olah raga dan olah
rasa serta karsa. sehingga terbentuk karakter manusia insan kamil yang utuh
seperti yang disebutkan pada tujuan pendidikan karakter yang telah disebutkan
di atas, .
Karakter seseorang yang terbentuk akan dipengaruhi oleh pola pikir
dan pola sikap yang dianut oleh seseorang/peserta didik. Kalau pola pikir dan
pola sikap yang dianut dilandaskan pada iman dan takwa kepada Tuhan
sebagai pencipta dan pengatur makhluknya maka akan terbentuknya karakter
yang tepat dan kuat yang terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat, baik itu karakter terhadap diri sendiri, sesama, lingkungan dan
kebangsaan yang diperoleh melalui aktivitas olah pikir, olah hati, olah raga
dan olah rasa dan karsa.
http://fkip.um-surabaya.ac.id/berita/29-pendidikan-karakter-berbasis-iman-dan-takwa-melalui-pemaknaan-model-dalam-pembelajaran-biologi
Potret pendidikan Inodonesia
Dewasa ini
pendidikan sangat erat sekali kaitannya dengan kebudayaan. Mengutip H.A.R
Tilaar dalam Seminar Nasional Peringatan Hardiknas oleh Tamansiswa, 1 Mei 2012,
dia berkata, Pakar-pakar pendidikan seperti KH.Dewantara, Moh. Syafei, Paulo
Freire, Giroux, dan banyak pakar pendidikan dalam kelompok pedagogik kritis
melihat proses pendidikan tidak terlepas dari konteks kebudayaan seseorang.
Hal
ini bisa kita rujuk dengan adanya perjuangan tokoh pendidikan Ki Hajar
Dewantara(KHD) yang namanya sudah tidak asing lagi di dengar di tengah-tengah
masyarakat kita. Beliau merupakan pelopor tokoh pendidikan yang memperjuangkan
pendidikan sampai detik ini. Tonggak sejarah pendidikan nasional yang didirikan
oleh KH. Dewantara memang tidak terlepas dari Tamansiswa, mulai dari
kontemporer sampai dengan pendidikan yang modern kita rasakan saat ini.
Munculnya Tamansiswa memang tidak terlepas oleh sosok KH. Dewantara yang
membangun karakter bangsa melewati dunia pendidikan. Nilai-nilai kerakyatan,
budi pekerti, kebudayaan dan kebangsaan yang selalu ditanamkan KH.Dewantara
kepada siswa-siswanya. Tamansiswa yang nafasnya untuk pemerataan
pendidikan tetap menampung siswa dari berbagai kalangan baik miskin maupun
kaya. Namun mayoritasnya, para siswa yang belajar di perguruan ini merupakan
masyarakat kalangan menengah ke bawah. Sejalan dengan hal diatas, ketika kita
melihat sistem pendidikan yang ada di Indonesia sekarang ini sangat jauh dan
berbanding terbalik sekali. Implementasi kebijakan pemerintah di bidang
pendidikan selalu menghadapi masalah. Adanya spesifikasi pembangunan dibidang
pendidikan mengenai pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketidakadilan, pengangguran
yang akhir-akhir ini sering terjadi secara realita. Pelaksanaan pendidikan yang
terjadi dewasa ini baik yang secara konseptual maupun faktual masih menghadapi
sejumlah masalah. Mulai dari permasalahan Sumber Daya Alam (SDM), kebijakan
otonomi daerah bidang pendidikan, manajemen dan organisasi, pembiayaan
pendidikan , sarana dan prasarana pendidikan yang diambil dari Teori Gaston
(2002).
Ditinjau dari perspektif policy initation, pengambilan keputusan dalam pendidikan tidak ditentukan oleh secara obyektif, namun proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cendrung berakibat pada tidak relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam praktiknya aktor yang memiliki peran utama Bupati/Wali Kota dan komisi E DPRD yang mempunyai pengaruhi atau andil dalam penetapan kebijakan dibanding aktor pelaksanaan kebijakan yaitu Dinas Pendidikan.
Ditinjau dari perspektif policy initation, pengambilan keputusan dalam pendidikan tidak ditentukan oleh secara obyektif, namun proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cendrung berakibat pada tidak relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam praktiknya aktor yang memiliki peran utama Bupati/Wali Kota dan komisi E DPRD yang mempunyai pengaruhi atau andil dalam penetapan kebijakan dibanding aktor pelaksanaan kebijakan yaitu Dinas Pendidikan.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no 20
Tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaran
otonomi daerah pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan
nasional dalam kerangka NKRI. Namun demikian, bertolak dari landasan tersebut
masih ada masalah pendidikan yang harus dicarikan solusi yang cerdas agar
pendidikan berkembang. Kebijakan dan perubahan dalam pendidikan kurang memiliki
prioritas yang ingin dicapai. Sebagai contoh dalam pelaksanaan Ujian Kompetensi
Guru (UKG), menurut hemat penulis sangat tidak obyektif jika pemerintah atau
Menteri Pendidikan mengeluarkan kebijakan seperti hal tersebut yang bertujuan
untuk meningkatkan mutu dan kompetensi guru dalam mengajar. Alasannya karena,
jika ditinjau dari minimnya pengetahuan guru-guru mengenai sistem ujian Online
tersebut membuat program yang telah dicanangkan pemerintah menjadi gagal.
Selain itu, adanya sistem Ujian Nasional yang dirasakan oleh siswa SMP/ SMPA
yang berdampak pada penyelesain sekolah di paket B/ C. Hal tersebut sangat
merugikan siswa. Apalagi jika kita melihat yang menjadi korban dari sistem
tersebut adalah siswa/siswi yang pintar. Disini penulis melihat tolak ukur
pendidikan yang dijalankan oleh siswa mulai dari SMP sampai dengan SMA hanya
ditentukan oleh sistem yang berlaku dan bukan dari kemampuan pemikiran yang
dimiliki oleh siswa tersebut. Solusinya yaitu adanya keterlibatan aktif peran
masyarakat dalam mengevaluasi program pendidikan yang telah dijalankan oleh
pemerintah itu sangat penting. Hal ini berkaitan denga perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan dalam proses pelaksanaan pendidikan yang ada. Namun demikian,
hal ini berbanding berbalik dengan kenyataan yang ada.
Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama
keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai
sebuah kotak keterlibatan pasif. Saat ini peran serta masyarakat dalam program
pendidikan hanyalah berbentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Selain itu
pemerintah juga wajib melaksanakan program pendidikan wajib belajar 9 tahun
yaitu di mulai dari tingkat SD- SMA. Realitas yang dihadapi sekrang kewajiban
pemerintah dalam melaksanakan hal tersebut masih jauh dari harapan, karena
didaerah pelosok-pelosok atau perdesaan masih ada masyarakat awam kita yang
belum menyentuh pendidikan yang bermutu. Hal demikian hanya menjadi angan
belaka mereka saja. Kondisi diberbagai daerah terpencil juga masih dalam
kondisi keprihatinan. Di mulainya dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas
pendidikan dan sulitnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena
permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Apalagi jika berbicara masalah kualitas
pendidikan yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan
berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kemudian kurikulum yang ada dalam
sisitem pendidikan ini sangat membuat peserta didik pintar namun tidak menjadi
cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah
Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk
pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di
Indonesia. Hasilnya jika kita liat dilapangan banyaknya sarjana yang menganggur
karena kurangnya lapangan kerja yang disediakan oleh pemerintah. Indikator yang
digunakanpun cendrung menggunakan indikator kepintaran dan tolak ukur nilai
rapor maupun ijasah dan tidak mampu bertahan gencarnya industralisasi yang
berlangsung saat ini. Adanya fenomena-fenomena yang berkaitan dengan masalah
pendidikan yang ada, misalnya Pendidikan saat ini juga sebagai ajang modal
kapitalisme menjadi sebuah industri.
Tidak adanya lagi upaya pembangkitan kesadaran daya kritis.
Oleh sebab itu, mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli
ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan
pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya
bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak
mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki
ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah
mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan
alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas
anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah
bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta
pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga
hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang
dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan
tetap di bawah ketiak bangsa asing.Sebagaimana tidak kalah pentingnya adalah
sistem pendidikan di Indonesia ini berorientasi kepada menciptakan anak bangsa
yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber
kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak.
Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap
ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak
meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)