Minggu, 06 Januari 2013

Eksistensi Guru dalam peningkatan mutu pendidikan

0 komentar


Guru merupakan salah satu komponen terpenting dalam dunia pendidikan. Ruh pendidikan sesungguhnya terletak dipundak guru. Bahkan, baik buruknya atau berhasil tidaknya pendidikan hakikatnya ada di tangan guru. Sebab, sosok guru memiliki peranan yang strategis dalam ”mengukir” peserta didik menjadi pandai, cerdas, terampil, bermoral dan berpengetahuan luas.
Namun kini banyak gelombang aksi tuntutan mengenai profesionalisme guru.  Eksistensi guru menjadi bagian inheren yang tidak dapat dipisahkan dari satu kesatuan interaksi pedagogis dalam sistem pengelolaan pengajaran pendidikan (sekolah). Dalam pengamatan penulis, tuntutan tersebut sejalan dengan cita-cita yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Karena itu, sikap profesionalisme dalam dunia pendidikan (sekolah), tidak sekadar dinilai formalitas tetapi harus fungsional dan menjadi prinsip dasar yang melandasai aksi operasionalnya. Tuntutan demikian ini wajar karena dalam dunia modern, khususnya dalam rangka persaingan global, memerlukan sumber daya manusia yang bermutu dan selalu melakukan improvisasi diri secara terus menerus. Sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga pendidik atau guru merupakan cetak biru (blueprint) bagi penyelenggaran pendidikan.
Seorang guru yang baik adalah mereka yang memenuhi persyaratan kemampuan profesional baik sebagai pendidik maupun sebagai pengajar atau pelatih. Di sinilah letak pentingnya standar mutu profesional guru untuk menjamin proses belajar mengajar dan hasil belajar yang bermutu.[1][5]
Seperti yang terungkap di atas, bahwa salah satu “kejenuhan” yang di alami pendidikan Islam akhir-akhir ini adalah kualitas guru. Sejalan dengan tuntutan dunia kerja modern, termasuk lapangan kerja dalam bidang pelayanan jasa seperti sekolah, secara kualitatif menuntut seseorang mengusai metode, cara dan alat kerja yang efesien, efektif, dan canggih (modern). Metode pelayanan yang masih menggunakan cara lama harus diubah dengan cara pelayanan baru yang memperoleh daya guna secara efektif dan efesien sehingga tercapainya tujuan yang maksimal.
Sebagai tenaga edukatif dalam lingkup sekolah, guru harus memiliki kompetensi-kompetensi dasar kependidikan. Sebab dalam interaksi pembelajaran peserta didik, seorang guru harus bisa melakukan demonstrasi yang hidup dan menyenangkan bagi peserta didik. Sehingga kompetensi tersebut menyebabkan pembelajaran semakin bertambah baik.
Untuk menuju proses kegiatan belajar yang baik, maka tugas pokok guru adalah mempersiapkan rancangan-rancangan pembelajaran yang sistematis dan berkelanjutan. Membuat perangkat pembelajaran tersebut merupakan bagian dari tugas pendidik. Di samping ia juga harus memiliki kemampuan tertentu yang sesuai dengan nilai dan norma yang seharusnya dimilikinya. Misalnya, berkepribadian dewasa, mandiri dan bertanggung jawab terutama secara moral sehingga dapat dijadikan identifikasi peserta didiknya.
Itulah mengapa seorang guru harus memiliki jiwa profesionalisme. Keberadaan guru yang sangat strategis tersebut diharapkan melalui jiwa profesionalisme dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran yang berkualitas dan menjadi tonggak yang kokoh bagi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, kata profesionalisme perlu kita kaji secara mendalam guna melahirkan pemahaman yang holistik dan komprehensif.
Kata dasar profesionalisme sesungguhnya berakar dari kata profesi, yakni memerlukan kepandaian khusus untuk menjelaskannya. Sutisno mendefisikan profesional adalah menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya, terikat oleh pandangan hidup (world view atau weltanschaung) tertentu yang dalam hal ini ia memerlukan pekerjaannya sebagai seperangkat norma, kepatuhan terhadap perilaku, dan terikat pada syarat-syarat kompetensi serta kesadaran berprestasi dan pengabdian. Dengan demikian, istilah profesional yang dimaksud adalah serangkaian keahlian yang dipersyaratkan untuk melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan secara efesien dan efektif dengan tingkat keahlian yang tinggi dalam mencapai tujuan pekerjaan tersebut.
Maksud dari sikap profesionalisme tersebut paling tidak mencerminkan empat ciri mendasar berikut ini, yakni pertama, tingkat pendidikan spesialisasinya menuntut seseorang melaksanakan jabatan/pekerjaan dengan penuh kapabilitas, kemandirian dalam mengambil keputusan (independent judgement), mahir dan terampil dalam mengerjakan tugasnya. Kedua, motif dan tujuan utama seseorang memilih jabatan/pekerjaan itu adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan imbalan kebendaan (bayaran) yang menjadi tujuan utama. Ketiga, terdapat kode etik jabatan yang secara sukarela diterima mejadi pedoman perilaku dan tindakan kelompok profesional yang bersangkutan. Kode etik tersebut menjadi standar perilaku pekerjaannya. Keempat, terdapat kesetia-kawanan seprofesi, yang diwujudkan dengan saling menjalin kerja sama dan tolong menolong antar anggota dalam suatu komunitas tertentu.
Seseorang dikatakan profesional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbarui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zaman di masa depan.
Sesuai dengan UU RI No. 14 tahun 2005 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari rumusan tersebut di atas bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan perpaduan antara bimbingan, pengajaran dan latihan. Kegiatan bimbingan lebih ditekankan pada proses pengembangan mental spiritual (rohaniah, moral dan sosial). Kegiatan pengajaran ditekankan pada proses pengembangan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Guru sebagai pendidik yang profesional, berarti harus mempunyai keahlian dalam mengelola ketiga kegiatan tersebut.
Sebagai sebuah institusi, lembaga sekolah dalam prosesnya harus selalu berupaya meningkatkan profesionalisme guru dan inovasi pembelajaran. Salah satu upaya untuk meningkatan mutu pembelajaran di sekolah adalah terbentuknya kultur dan sikap profesionalisme guru yang dedikatif tinggi.
Sudah menjadi kewajiban bagi suatu lembaga pendidikan (sekolah), bahwa pengembangan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab besar yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, menunda hal ini berarti mengorbankan generasi masa depan yang notabenenya sebagai cagar peradaban umat. Karenanya, proses peningkatan kualitas bagi lembaga pendidikan seharusnya menyadari dan melakukan pembenahan sedini mungkin supaya pengembangan kualitas kelembagaan sekolah dan lulusannya dapat memenuhi harapan masyarakat luas. Mutu tidaknya sebuah sekolah akan dapat dilihat dari mekanisme struktural di dalamnya, apakah ada rencana yang terstruktur, sistematis, terprogram dan berkelanjutan.
Dari paparan tersebut, sudah sepatutnya lembaga pendidikan/sekolah untuk lebih meningkatkan pada orientasi mutu, termasuk salah satu di dalamnya mutu profesi guru dan sistem kegiatan belajar mengajarnya. Orientasi pendidikan yang berjalan saat ini, bukan tidak mungkin akan kehilangan elan vital-nya di masa depan, sebab kurang didukung oleh pengelola pendidikan yang profesional. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa guru merupakan faktor penting yang menetukan keberhasilan mutu pendidikan.Hasil ini menunjukkan bahwa sampai saat ini betapa eksisnya peran guru diperlukan dalam dunia pendidikan.
Salah satu upaya untuk mengatasi kebutuhan tersebut adalah mengubah orientasi sekolah yang masih berpola lama dengan inovasi yang berpola baru. Artinya, kalau sekolah masih dikelola dengan cara lama maka sudah saatnya digantikan dengan cara baru. Hal ini penting, mengingat peran lembaga pendidikan akan selalu berdialektika dengan perubahan yang terus berkembang.
Karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan harus mempertegas visi dan misi yang akan dikembangkan di masa mendatang, supaya tidak terjadi kekaburan orientasi dan kehilangan arah yang pasti. Sebab, jika tidak dilakukan maka akan berdampak pada kualitas sekolah itu sendiri. Salah satu ukuran kualitas lembaga pendidikan dapat dilihat dari proses kegiatan (non fisik), selain sarana fisiknya juga mendukung. Sehingga berbagai upaya peningkatan mutu perlu ada komitmen yang kuat dari pihak penyelenggara sekolah

http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1975:peran-guru-dalam-meningkatkan-mutu-pendidikan&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210 









Tinjaun tentang pendidikan karakter

0 komentar


UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3,   menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang,  harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik   mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari dimasyarakat.
Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.di masyarakat. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skilldaripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Soft skill ini merupakan bagaian karakter yang harus dibentuk melalui pendidikan mulai tingkat SD sampai dengan perguruan tinggi.
Kementerian Pendidikan Nasional telah mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design ini menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Berdasarkan Grand design pendidkan karakter nasional menyebutkan bahwa Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).
Berdasarkan hal di atas maka dapat dilihat bahwa salah satu karakter yang harus terbentuk dalam perilaku peserta didik  adalah peningkatan keimanan dan ketakwaan pada Tuhan yang maha Esa. Iman dan takwa pada Tuhan sebetulnya merupakan landasan yang kuat untuk terbentuknya karakter yang lainnya yang meliputi karakter terhadap diri sendiri, sesama, lingkungan, dan kebangsaan yang terbentuk melalui olah pikir, olah hati, olah raga dan olah rasa serta karsa. sehingga terbentuk karakter manusia insan kamil yang utuh seperti yang disebutkan pada tujuan pendidikan karakter yang telah disebutkan di atas, .
Karakter seseorang yang terbentuk akan dipengaruhi oleh pola pikir dan pola sikap yang dianut oleh seseorang/peserta didik. Kalau pola pikir dan pola sikap yang dianut dilandaskan  pada  iman dan takwa kepada Tuhan sebagai pencipta dan pengatur makhluknya maka akan terbentuknya karakter  yang tepat dan kuat yang terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, baik itu karakter terhadap diri sendiri, sesama, lingkungan dan kebangsaan yang diperoleh melalui aktivitas olah pikir, olah hati, olah raga dan olah rasa dan karsa.
http://fkip.um-surabaya.ac.id/berita/29-pendidikan-karakter-berbasis-iman-dan-takwa-melalui-pemaknaan-model-dalam-pembelajaran-biologi

Potret pendidikan Inodonesia

0 komentar
Dewasa ini pendidikan sangat erat sekali kaitannya dengan kebudayaan. Mengutip H.A.R Tilaar dalam Seminar Nasional Peringatan Hardiknas oleh Tamansiswa, 1 Mei 2012, dia berkata, Pakar-pakar pendidikan seperti KH.Dewantara, Moh. Syafei, Paulo Freire, Giroux, dan banyak pakar pendidikan dalam kelompok pedagogik kritis melihat proses pendidikan tidak terlepas dari konteks kebudayaan seseorang. 
Hal ini bisa kita rujuk dengan adanya perjuangan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara(KHD) yang namanya sudah tidak asing lagi di dengar di tengah-tengah masyarakat kita. Beliau merupakan pelopor tokoh pendidikan yang memperjuangkan pendidikan sampai detik ini. Tonggak sejarah pendidikan nasional yang didirikan oleh KH. Dewantara memang tidak terlepas dari Tamansiswa, mulai dari kontemporer sampai dengan pendidikan yang modern kita rasakan saat ini. Munculnya Tamansiswa memang tidak terlepas oleh sosok KH. Dewantara yang membangun karakter bangsa melewati dunia pendidikan. Nilai-nilai kerakyatan, budi pekerti, kebudayaan dan kebangsaan yang selalu ditanamkan KH.Dewantara kepada siswa-siswanya.  Tamansiswa yang nafasnya untuk pemerataan pendidikan tetap menampung siswa dari berbagai kalangan baik miskin maupun kaya. Namun mayoritasnya, para siswa yang belajar di perguruan ini merupakan masyarakat kalangan menengah ke bawah. Sejalan dengan hal diatas, ketika kita melihat sistem pendidikan yang ada di Indonesia sekarang ini sangat jauh dan berbanding terbalik sekali. Implementasi kebijakan pemerintah di bidang pendidikan selalu menghadapi masalah. Adanya spesifikasi pembangunan dibidang pendidikan mengenai pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketidakadilan, pengangguran yang akhir-akhir ini sering terjadi secara realita. Pelaksanaan pendidikan yang terjadi dewasa ini baik yang secara konseptual maupun faktual masih menghadapi sejumlah masalah. Mulai dari permasalahan Sumber Daya Alam (SDM), kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan, manajemen dan organisasi, pembiayaan pendidikan , sarana dan prasarana pendidikan yang diambil dari Teori Gaston (2002). 

Ditinjau dari perspektif policy initation, pengambilan keputusan dalam pendidikan tidak ditentukan oleh secara obyektif, namun proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cendrung berakibat pada tidak relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam praktiknya aktor yang memiliki peran utama Bupati/Wali Kota dan komisi E DPRD yang mempunyai pengaruhi atau andil dalam penetapan kebijakan dibanding aktor pelaksanaan kebijakan yaitu Dinas Pendidikan. 
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no 20 Tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaran otonomi daerah pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka NKRI. Namun demikian, bertolak dari landasan tersebut masih ada masalah pendidikan yang harus dicarikan solusi yang cerdas agar pendidikan berkembang. Kebijakan dan perubahan dalam pendidikan kurang memiliki prioritas yang ingin dicapai. Sebagai contoh dalam pelaksanaan Ujian Kompetensi Guru (UKG), menurut hemat penulis sangat tidak obyektif jika pemerintah atau Menteri Pendidikan mengeluarkan kebijakan seperti hal tersebut yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan kompetensi guru dalam mengajar. Alasannya karena, jika ditinjau dari minimnya pengetahuan guru-guru mengenai sistem ujian Online tersebut membuat program yang telah dicanangkan pemerintah menjadi gagal. Selain itu, adanya sistem Ujian Nasional yang dirasakan oleh siswa SMP/ SMPA yang berdampak pada penyelesain sekolah di paket B/ C. Hal tersebut sangat merugikan siswa. Apalagi jika kita melihat yang menjadi korban dari sistem tersebut adalah siswa/siswi yang pintar. Disini penulis melihat tolak ukur pendidikan yang dijalankan oleh siswa mulai dari SMP sampai dengan SMA hanya ditentukan oleh sistem yang berlaku dan bukan dari kemampuan pemikiran yang dimiliki oleh siswa tersebut. Solusinya yaitu adanya keterlibatan aktif peran masyarakat dalam mengevaluasi program pendidikan yang telah dijalankan oleh pemerintah itu sangat penting. Hal ini berkaitan denga perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam proses pelaksanaan pendidikan yang ada. Namun demikian, hal ini berbanding berbalik dengan kenyataan yang ada. 
Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Saat ini peran serta masyarakat dalam program pendidikan hanyalah berbentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Selain itu pemerintah juga wajib melaksanakan program pendidikan wajib belajar 9 tahun yaitu di mulai dari tingkat SD- SMA. Realitas yang dihadapi sekrang kewajiban pemerintah dalam melaksanakan hal tersebut masih jauh dari harapan, karena didaerah pelosok-pelosok atau perdesaan masih ada masyarakat awam kita yang belum menyentuh pendidikan yang bermutu. Hal demikian hanya menjadi angan belaka mereka saja. Kondisi diberbagai daerah terpencil juga masih dalam kondisi keprihatinan. Di mulainya dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pendidikan dan sulitnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Apalagi jika berbicara masalah kualitas pendidikan yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kemudian kurikulum yang ada dalam sisitem pendidikan ini sangat membuat peserta didik pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia. Hasilnya jika kita liat dilapangan banyaknya sarjana yang menganggur karena kurangnya lapangan kerja yang disediakan oleh pemerintah. Indikator yang digunakanpun cendrung menggunakan indikator kepintaran dan tolak ukur nilai rapor maupun ijasah dan tidak mampu bertahan gencarnya industralisasi yang berlangsung saat ini. Adanya fenomena-fenomena yang berkaitan dengan masalah pendidikan yang ada, misalnya Pendidikan saat ini juga sebagai ajang modal kapitalisme menjadi sebuah industri. 
Tidak adanya lagi upaya pembangkitan kesadaran daya kritis. Oleh sebab itu, mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.Sebagaimana tidak kalah pentingnya adalah sistem pendidikan di Indonesia ini berorientasi kepada menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
 

Education Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template