Guru merupakan salah satu komponen
terpenting dalam dunia pendidikan. Ruh pendidikan sesungguhnya terletak
dipundak guru. Bahkan, baik buruknya atau berhasil tidaknya pendidikan
hakikatnya ada di tangan guru. Sebab, sosok guru memiliki peranan yang
strategis dalam ”mengukir” peserta didik menjadi pandai, cerdas, terampil,
bermoral dan berpengetahuan luas.
Namun kini banyak gelombang aksi
tuntutan mengenai profesionalisme guru.
Eksistensi guru menjadi bagian inheren yang tidak dapat dipisahkan dari satu
kesatuan interaksi pedagogis dalam sistem pengelolaan pengajaran pendidikan
(sekolah). Dalam pengamatan penulis, tuntutan tersebut sejalan dengan cita-cita
yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana yang termaktub
dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab
II pasal 3, yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Karena itu, sikap profesionalisme dalam
dunia pendidikan (sekolah), tidak sekadar dinilai formalitas tetapi harus
fungsional dan menjadi prinsip dasar yang melandasai aksi operasionalnya.
Tuntutan demikian ini wajar karena dalam dunia modern, khususnya dalam rangka
persaingan global, memerlukan sumber daya manusia yang bermutu dan selalu
melakukan improvisasi diri secara terus menerus. Sehingga dapat dikatakan bahwa
tenaga pendidik atau guru merupakan cetak biru (blueprint) bagi penyelenggaran pendidikan.
Seorang guru yang baik adalah mereka
yang memenuhi persyaratan kemampuan profesional baik sebagai pendidik maupun
sebagai pengajar atau pelatih. Di sinilah letak pentingnya standar mutu
profesional guru untuk menjamin proses belajar mengajar dan hasil belajar yang
bermutu.[1][5]
Seperti yang terungkap di atas, bahwa
salah satu “kejenuhan” yang di alami pendidikan Islam akhir-akhir ini adalah
kualitas guru. Sejalan dengan tuntutan dunia kerja modern, termasuk lapangan
kerja dalam bidang pelayanan jasa seperti sekolah, secara kualitatif menuntut
seseorang mengusai metode, cara dan alat kerja yang efesien, efektif, dan
canggih (modern). Metode pelayanan yang masih menggunakan cara lama harus
diubah dengan cara pelayanan baru yang memperoleh daya guna secara efektif dan
efesien sehingga tercapainya tujuan yang maksimal.
Sebagai tenaga edukatif dalam lingkup
sekolah, guru harus memiliki kompetensi-kompetensi dasar kependidikan. Sebab
dalam interaksi pembelajaran peserta didik, seorang guru harus bisa melakukan
demonstrasi yang hidup dan menyenangkan bagi peserta didik. Sehingga kompetensi
tersebut menyebabkan pembelajaran semakin bertambah baik.
Untuk menuju proses kegiatan belajar
yang baik, maka tugas pokok guru adalah mempersiapkan rancangan-rancangan
pembelajaran yang sistematis dan berkelanjutan. Membuat perangkat pembelajaran
tersebut merupakan bagian dari tugas pendidik. Di samping ia juga harus
memiliki kemampuan tertentu yang sesuai dengan nilai dan norma yang seharusnya
dimilikinya. Misalnya, berkepribadian dewasa, mandiri dan bertanggung jawab
terutama secara moral sehingga dapat dijadikan identifikasi peserta didiknya.
Itulah mengapa seorang guru harus
memiliki jiwa profesionalisme. Keberadaan guru yang sangat strategis tersebut
diharapkan melalui jiwa profesionalisme dapat mengembangkan kegiatan
pembelajaran yang berkualitas dan menjadi tonggak yang kokoh bagi lembaga
pendidikan. Oleh karena itu, kata profesionalisme perlu kita kaji secara
mendalam guna melahirkan pemahaman yang holistik dan komprehensif.
Kata dasar profesionalisme sesungguhnya
berakar dari kata profesi, yakni memerlukan kepandaian khusus untuk
menjelaskannya. Sutisno mendefisikan profesional
adalah menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya, terikat oleh
pandangan hidup (world view atau weltanschaung) tertentu yang dalam hal ini ia
memerlukan pekerjaannya sebagai seperangkat norma, kepatuhan terhadap perilaku,
dan terikat pada syarat-syarat kompetensi serta kesadaran berprestasi dan
pengabdian. Dengan demikian, istilah profesional yang
dimaksud adalah serangkaian keahlian yang dipersyaratkan untuk melakukan suatu
pekerjaan yang dilakukan secara efesien dan efektif dengan tingkat keahlian
yang tinggi dalam mencapai tujuan pekerjaan tersebut.
Maksud dari sikap profesionalisme
tersebut paling tidak mencerminkan empat ciri mendasar berikut ini, yakni pertama, tingkat pendidikan spesialisasinya
menuntut seseorang melaksanakan jabatan/pekerjaan dengan penuh kapabilitas,
kemandirian dalam mengambil keputusan (independent
judgement), mahir dan
terampil dalam mengerjakan tugasnya. Kedua, motif dan tujuan utama seseorang
memilih jabatan/pekerjaan itu adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan
imbalan kebendaan (bayaran) yang menjadi tujuan utama. Ketiga, terdapat kode etik jabatan yang
secara sukarela diterima mejadi pedoman perilaku dan tindakan kelompok
profesional yang bersangkutan. Kode etik tersebut menjadi standar perilaku
pekerjaannya. Keempat, terdapat kesetia-kawanan seprofesi, yang diwujudkan
dengan saling menjalin kerja sama dan tolong menolong antar anggota dalam suatu
komunitas tertentu.
Seseorang dikatakan profesional,
bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya,
sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous
improvement, yakni selalu
berusaha memperbaiki dan memperbarui model-model atau cara kerjanya sesuai
dengan tuntutan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas
mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zaman di
masa depan.
Sesuai dengan UU RI No. 14 tahun 2005 tentang sistem pendidikan nasional,
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari rumusan tersebut di atas bahwa
kegiatan belajar mengajar merupakan perpaduan antara bimbingan, pengajaran dan
latihan. Kegiatan bimbingan lebih ditekankan pada proses pengembangan mental
spiritual (rohaniah, moral dan sosial). Kegiatan pengajaran ditekankan pada
proses pengembangan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Guru sebagai
pendidik yang profesional, berarti harus mempunyai keahlian dalam mengelola
ketiga kegiatan tersebut.
Sebagai sebuah institusi, lembaga
sekolah dalam prosesnya harus selalu berupaya meningkatkan profesionalisme guru
dan inovasi pembelajaran. Salah satu upaya untuk meningkatan mutu pembelajaran
di sekolah adalah terbentuknya kultur dan sikap profesionalisme guru yang
dedikatif tinggi.
Sudah menjadi kewajiban bagi suatu
lembaga pendidikan (sekolah), bahwa pengembangan profesionalisme guru merupakan
tanggung jawab besar yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, menunda hal ini
berarti mengorbankan generasi masa depan yang notabenenya sebagai cagar
peradaban umat. Karenanya, proses peningkatan kualitas bagi lembaga pendidikan
seharusnya menyadari dan melakukan pembenahan sedini mungkin supaya
pengembangan kualitas kelembagaan sekolah dan lulusannya dapat memenuhi harapan
masyarakat luas. Mutu tidaknya sebuah sekolah akan dapat dilihat dari mekanisme
struktural di dalamnya, apakah ada rencana yang terstruktur, sistematis,
terprogram dan berkelanjutan.
Dari paparan tersebut, sudah sepatutnya
lembaga pendidikan/sekolah untuk lebih meningkatkan pada orientasi mutu,
termasuk salah satu di dalamnya mutu profesi guru dan sistem kegiatan belajar
mengajarnya. Orientasi pendidikan yang berjalan saat ini, bukan tidak mungkin
akan kehilangan elan vital-nya di masa depan, sebab kurang didukung oleh pengelola
pendidikan yang profesional. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa guru
merupakan faktor penting yang menetukan keberhasilan mutu pendidikan.Hasil ini menunjukkan bahwa sampai
saat ini betapa eksisnya peran guru diperlukan dalam dunia pendidikan.
Salah satu upaya untuk mengatasi
kebutuhan tersebut adalah mengubah orientasi sekolah yang masih berpola lama
dengan inovasi yang berpola baru. Artinya, kalau sekolah masih dikelola dengan
cara lama maka sudah saatnya digantikan dengan cara baru. Hal ini penting,
mengingat peran lembaga pendidikan akan selalu berdialektika dengan perubahan
yang terus berkembang.
Karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan
harus mempertegas visi dan misi yang akan dikembangkan di masa mendatang,
supaya tidak terjadi kekaburan orientasi dan kehilangan arah yang pasti. Sebab,
jika tidak dilakukan maka akan berdampak pada kualitas sekolah itu sendiri.
Salah satu ukuran kualitas lembaga pendidikan dapat dilihat dari proses
kegiatan (non fisik), selain sarana fisiknya juga mendukung. Sehingga berbagai
upaya peningkatan mutu perlu ada komitmen yang kuat dari pihak penyelenggara
sekolah
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1975:peran-guru-dalam-meningkatkan-mutu-pendidikan&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
0 komentar:
Posting Komentar