Minggu, 06 Januari 2013

Potret pendidikan Inodonesia

Dewasa ini pendidikan sangat erat sekali kaitannya dengan kebudayaan. Mengutip H.A.R Tilaar dalam Seminar Nasional Peringatan Hardiknas oleh Tamansiswa, 1 Mei 2012, dia berkata, Pakar-pakar pendidikan seperti KH.Dewantara, Moh. Syafei, Paulo Freire, Giroux, dan banyak pakar pendidikan dalam kelompok pedagogik kritis melihat proses pendidikan tidak terlepas dari konteks kebudayaan seseorang. 
Hal ini bisa kita rujuk dengan adanya perjuangan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara(KHD) yang namanya sudah tidak asing lagi di dengar di tengah-tengah masyarakat kita. Beliau merupakan pelopor tokoh pendidikan yang memperjuangkan pendidikan sampai detik ini. Tonggak sejarah pendidikan nasional yang didirikan oleh KH. Dewantara memang tidak terlepas dari Tamansiswa, mulai dari kontemporer sampai dengan pendidikan yang modern kita rasakan saat ini. Munculnya Tamansiswa memang tidak terlepas oleh sosok KH. Dewantara yang membangun karakter bangsa melewati dunia pendidikan. Nilai-nilai kerakyatan, budi pekerti, kebudayaan dan kebangsaan yang selalu ditanamkan KH.Dewantara kepada siswa-siswanya.  Tamansiswa yang nafasnya untuk pemerataan pendidikan tetap menampung siswa dari berbagai kalangan baik miskin maupun kaya. Namun mayoritasnya, para siswa yang belajar di perguruan ini merupakan masyarakat kalangan menengah ke bawah. Sejalan dengan hal diatas, ketika kita melihat sistem pendidikan yang ada di Indonesia sekarang ini sangat jauh dan berbanding terbalik sekali. Implementasi kebijakan pemerintah di bidang pendidikan selalu menghadapi masalah. Adanya spesifikasi pembangunan dibidang pendidikan mengenai pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketidakadilan, pengangguran yang akhir-akhir ini sering terjadi secara realita. Pelaksanaan pendidikan yang terjadi dewasa ini baik yang secara konseptual maupun faktual masih menghadapi sejumlah masalah. Mulai dari permasalahan Sumber Daya Alam (SDM), kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan, manajemen dan organisasi, pembiayaan pendidikan , sarana dan prasarana pendidikan yang diambil dari Teori Gaston (2002). 

Ditinjau dari perspektif policy initation, pengambilan keputusan dalam pendidikan tidak ditentukan oleh secara obyektif, namun proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cendrung berakibat pada tidak relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam praktiknya aktor yang memiliki peran utama Bupati/Wali Kota dan komisi E DPRD yang mempunyai pengaruhi atau andil dalam penetapan kebijakan dibanding aktor pelaksanaan kebijakan yaitu Dinas Pendidikan. 
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no 20 Tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaran otonomi daerah pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka NKRI. Namun demikian, bertolak dari landasan tersebut masih ada masalah pendidikan yang harus dicarikan solusi yang cerdas agar pendidikan berkembang. Kebijakan dan perubahan dalam pendidikan kurang memiliki prioritas yang ingin dicapai. Sebagai contoh dalam pelaksanaan Ujian Kompetensi Guru (UKG), menurut hemat penulis sangat tidak obyektif jika pemerintah atau Menteri Pendidikan mengeluarkan kebijakan seperti hal tersebut yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan kompetensi guru dalam mengajar. Alasannya karena, jika ditinjau dari minimnya pengetahuan guru-guru mengenai sistem ujian Online tersebut membuat program yang telah dicanangkan pemerintah menjadi gagal. Selain itu, adanya sistem Ujian Nasional yang dirasakan oleh siswa SMP/ SMPA yang berdampak pada penyelesain sekolah di paket B/ C. Hal tersebut sangat merugikan siswa. Apalagi jika kita melihat yang menjadi korban dari sistem tersebut adalah siswa/siswi yang pintar. Disini penulis melihat tolak ukur pendidikan yang dijalankan oleh siswa mulai dari SMP sampai dengan SMA hanya ditentukan oleh sistem yang berlaku dan bukan dari kemampuan pemikiran yang dimiliki oleh siswa tersebut. Solusinya yaitu adanya keterlibatan aktif peran masyarakat dalam mengevaluasi program pendidikan yang telah dijalankan oleh pemerintah itu sangat penting. Hal ini berkaitan denga perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam proses pelaksanaan pendidikan yang ada. Namun demikian, hal ini berbanding berbalik dengan kenyataan yang ada. 
Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Saat ini peran serta masyarakat dalam program pendidikan hanyalah berbentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Selain itu pemerintah juga wajib melaksanakan program pendidikan wajib belajar 9 tahun yaitu di mulai dari tingkat SD- SMA. Realitas yang dihadapi sekrang kewajiban pemerintah dalam melaksanakan hal tersebut masih jauh dari harapan, karena didaerah pelosok-pelosok atau perdesaan masih ada masyarakat awam kita yang belum menyentuh pendidikan yang bermutu. Hal demikian hanya menjadi angan belaka mereka saja. Kondisi diberbagai daerah terpencil juga masih dalam kondisi keprihatinan. Di mulainya dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pendidikan dan sulitnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Apalagi jika berbicara masalah kualitas pendidikan yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kemudian kurikulum yang ada dalam sisitem pendidikan ini sangat membuat peserta didik pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia. Hasilnya jika kita liat dilapangan banyaknya sarjana yang menganggur karena kurangnya lapangan kerja yang disediakan oleh pemerintah. Indikator yang digunakanpun cendrung menggunakan indikator kepintaran dan tolak ukur nilai rapor maupun ijasah dan tidak mampu bertahan gencarnya industralisasi yang berlangsung saat ini. Adanya fenomena-fenomena yang berkaitan dengan masalah pendidikan yang ada, misalnya Pendidikan saat ini juga sebagai ajang modal kapitalisme menjadi sebuah industri. 
Tidak adanya lagi upaya pembangkitan kesadaran daya kritis. Oleh sebab itu, mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.Sebagaimana tidak kalah pentingnya adalah sistem pendidikan di Indonesia ini berorientasi kepada menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Education Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template