Dewasa ini
pendidikan sangat erat sekali kaitannya dengan kebudayaan. Mengutip H.A.R
Tilaar dalam Seminar Nasional Peringatan Hardiknas oleh Tamansiswa, 1 Mei 2012,
dia berkata, Pakar-pakar pendidikan seperti KH.Dewantara, Moh. Syafei, Paulo
Freire, Giroux, dan banyak pakar pendidikan dalam kelompok pedagogik kritis
melihat proses pendidikan tidak terlepas dari konteks kebudayaan seseorang.
Hal
ini bisa kita rujuk dengan adanya perjuangan tokoh pendidikan Ki Hajar
Dewantara(KHD) yang namanya sudah tidak asing lagi di dengar di tengah-tengah
masyarakat kita. Beliau merupakan pelopor tokoh pendidikan yang memperjuangkan
pendidikan sampai detik ini. Tonggak sejarah pendidikan nasional yang didirikan
oleh KH. Dewantara memang tidak terlepas dari Tamansiswa, mulai dari
kontemporer sampai dengan pendidikan yang modern kita rasakan saat ini.
Munculnya Tamansiswa memang tidak terlepas oleh sosok KH. Dewantara yang
membangun karakter bangsa melewati dunia pendidikan. Nilai-nilai kerakyatan,
budi pekerti, kebudayaan dan kebangsaan yang selalu ditanamkan KH.Dewantara
kepada siswa-siswanya. Tamansiswa yang nafasnya untuk pemerataan
pendidikan tetap menampung siswa dari berbagai kalangan baik miskin maupun
kaya. Namun mayoritasnya, para siswa yang belajar di perguruan ini merupakan
masyarakat kalangan menengah ke bawah. Sejalan dengan hal diatas, ketika kita
melihat sistem pendidikan yang ada di Indonesia sekarang ini sangat jauh dan
berbanding terbalik sekali. Implementasi kebijakan pemerintah di bidang
pendidikan selalu menghadapi masalah. Adanya spesifikasi pembangunan dibidang
pendidikan mengenai pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketidakadilan, pengangguran
yang akhir-akhir ini sering terjadi secara realita. Pelaksanaan pendidikan yang
terjadi dewasa ini baik yang secara konseptual maupun faktual masih menghadapi
sejumlah masalah. Mulai dari permasalahan Sumber Daya Alam (SDM), kebijakan
otonomi daerah bidang pendidikan, manajemen dan organisasi, pembiayaan
pendidikan , sarana dan prasarana pendidikan yang diambil dari Teori Gaston
(2002).
Ditinjau dari perspektif policy initation, pengambilan keputusan dalam pendidikan tidak ditentukan oleh secara obyektif, namun proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cendrung berakibat pada tidak relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam praktiknya aktor yang memiliki peran utama Bupati/Wali Kota dan komisi E DPRD yang mempunyai pengaruhi atau andil dalam penetapan kebijakan dibanding aktor pelaksanaan kebijakan yaitu Dinas Pendidikan.
Ditinjau dari perspektif policy initation, pengambilan keputusan dalam pendidikan tidak ditentukan oleh secara obyektif, namun proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cendrung berakibat pada tidak relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam praktiknya aktor yang memiliki peran utama Bupati/Wali Kota dan komisi E DPRD yang mempunyai pengaruhi atau andil dalam penetapan kebijakan dibanding aktor pelaksanaan kebijakan yaitu Dinas Pendidikan.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no 20
Tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaran
otonomi daerah pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan
nasional dalam kerangka NKRI. Namun demikian, bertolak dari landasan tersebut
masih ada masalah pendidikan yang harus dicarikan solusi yang cerdas agar
pendidikan berkembang. Kebijakan dan perubahan dalam pendidikan kurang memiliki
prioritas yang ingin dicapai. Sebagai contoh dalam pelaksanaan Ujian Kompetensi
Guru (UKG), menurut hemat penulis sangat tidak obyektif jika pemerintah atau
Menteri Pendidikan mengeluarkan kebijakan seperti hal tersebut yang bertujuan
untuk meningkatkan mutu dan kompetensi guru dalam mengajar. Alasannya karena,
jika ditinjau dari minimnya pengetahuan guru-guru mengenai sistem ujian Online
tersebut membuat program yang telah dicanangkan pemerintah menjadi gagal.
Selain itu, adanya sistem Ujian Nasional yang dirasakan oleh siswa SMP/ SMPA
yang berdampak pada penyelesain sekolah di paket B/ C. Hal tersebut sangat
merugikan siswa. Apalagi jika kita melihat yang menjadi korban dari sistem
tersebut adalah siswa/siswi yang pintar. Disini penulis melihat tolak ukur
pendidikan yang dijalankan oleh siswa mulai dari SMP sampai dengan SMA hanya
ditentukan oleh sistem yang berlaku dan bukan dari kemampuan pemikiran yang
dimiliki oleh siswa tersebut. Solusinya yaitu adanya keterlibatan aktif peran
masyarakat dalam mengevaluasi program pendidikan yang telah dijalankan oleh
pemerintah itu sangat penting. Hal ini berkaitan denga perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan dalam proses pelaksanaan pendidikan yang ada. Namun demikian,
hal ini berbanding berbalik dengan kenyataan yang ada.
Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama
keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai
sebuah kotak keterlibatan pasif. Saat ini peran serta masyarakat dalam program
pendidikan hanyalah berbentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Selain itu
pemerintah juga wajib melaksanakan program pendidikan wajib belajar 9 tahun
yaitu di mulai dari tingkat SD- SMA. Realitas yang dihadapi sekrang kewajiban
pemerintah dalam melaksanakan hal tersebut masih jauh dari harapan, karena
didaerah pelosok-pelosok atau perdesaan masih ada masyarakat awam kita yang
belum menyentuh pendidikan yang bermutu. Hal demikian hanya menjadi angan
belaka mereka saja. Kondisi diberbagai daerah terpencil juga masih dalam
kondisi keprihatinan. Di mulainya dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas
pendidikan dan sulitnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena
permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Apalagi jika berbicara masalah kualitas
pendidikan yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan
berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kemudian kurikulum yang ada dalam
sisitem pendidikan ini sangat membuat peserta didik pintar namun tidak menjadi
cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah
Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk
pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di
Indonesia. Hasilnya jika kita liat dilapangan banyaknya sarjana yang menganggur
karena kurangnya lapangan kerja yang disediakan oleh pemerintah. Indikator yang
digunakanpun cendrung menggunakan indikator kepintaran dan tolak ukur nilai
rapor maupun ijasah dan tidak mampu bertahan gencarnya industralisasi yang
berlangsung saat ini. Adanya fenomena-fenomena yang berkaitan dengan masalah
pendidikan yang ada, misalnya Pendidikan saat ini juga sebagai ajang modal
kapitalisme menjadi sebuah industri.
Tidak adanya lagi upaya pembangkitan kesadaran daya kritis.
Oleh sebab itu, mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli
ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan
pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya
bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak
mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki
ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah
mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan
alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas
anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah
bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta
pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga
hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang
dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan
tetap di bawah ketiak bangsa asing.Sebagaimana tidak kalah pentingnya adalah
sistem pendidikan di Indonesia ini berorientasi kepada menciptakan anak bangsa
yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber
kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak.
Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap
ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak
meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar